Endah Murwani adalah dosen tamu yang mengajar kelas Kapita
Selekta pada tanggal 22 September 2016. Topik pembahasan yang dibawakan oleh
beliau adalah tentang iklan dan kekerasan simbolik. Topik pembahasan tersebut
berkaitan dengan new media, sama
seperti dengan pembahasan pada minggu-minggu sebelumnya. Namun pembahasan kali
ini befokus kepada iklan dan kekerasan simboliknya sehingga merupakan bentuk
pembahasan yang baru dan menarik.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgejiCQ1uR91508yOlrMlywpTy3GQPFlc1HOM8uDAQGP_XM0uAnkTgR672a66xKk2I00oEwxP85myiviftC8XkqOYaifWXEhRZMWILvZcuJD0vcO_8AfMDU095tuVtVgOSJ_OU7IX-HKtU/s320/IMG_1688.JPG)
Iklan adalah sesuatu yang tidak pernah dari kehidupan
manusia sehari-hari. Iklan berada dimana-mana sepanjang hari hingga seakan
mengepung masyarakat dari berbagai penjuru. Segala celah yang ada selalu diisi
oleh pengiklan. Semua pengiklan berlomba-lomba untuk semakin eksis di mata
masyarakat. Alasannya sangat mudah karena semakin iklan sering muncul maka akan
membentuk brand recall pada benak
masyarakat. Salah satu contohnya adalah iklan Ponds (sabun cuci muka) yang rela
mengeluarkan biaya hampir 400 miliar rupiah untuk beriklan. Biaya sebesar itu bukanlah
sebuah masalah selama pentrasi Ponds setiap tahun semakin meningkat dan memang
kenyataannya hal tersebut benar terjadi.
Iklan yang pada awalnya hanya digunakan untuk mempromosikan
produk atau jasa kini telah mengalami pergeseran seperti berikut:
1.
Sebagai
sarana penyebar nilai dan gaya hidup baru.
Contoh nyatanya dapat terlihat pada
iklan-iklan sereal yang sering muncul di televisi sebagai makanan untuk
dikonsumsi di pagi hari. Kini sudah banyak masyarakat yang terpapar iklan
tersebut dan mulai mengkonsumsi sereal di pagi hari dan dan tidak lagi memilih
bubur sebagai pilihan.
2.
Memunculkan asumsi using product is currency
Contohnya dapat terlihat pada iklan sampo. Sampo
sebenarnya hanya memiliki fungsi untuk membersihkan rambut namun kini sampo
diiklankan tidak hanya untuk membersihkan rambut saja tapi dapat berfungsi
untuk memanjangkan rambut, dsb. Contoh lain juga terjadi pada sandal, sandal hanyalah
berfungsi untuk alas kaki namun kini untuk menciptakan brand recall di benak masyarakatm sandal diiklankan dapat
memberikan efek kesehatan pada pemakainya.
Konsep kekerasan
simbolik
Tanpa kita sadari, simbol-simbol yang ada dalam iklan akan
kita ikuti. Contohnya tagline ‘putih
itu cantik’ yang sering digemborkan oleh iklan-iklan perawatan wajah dan kulit.
Secara tidak langsung tagline yang
dilihat berkali-kali tersebut dapat tertanam dalam benak dan benar-benar
percaya bahwa kecantikan seseorang ditentukan oleh warna kulitnya. Pemaparan secara
terus menerus tersebut disebut sebagai pedagogis atau definisi praktisnya
adalah pengajaran /edukasi terus menerus.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsu3sWXiGarpANC-pIFMUHeElceonBd5T-dc7GLx9mVXLxRBfJGsFEiyWLf4Lij759bW0G1r60gbdcPVisiKXGpymFD3sQCxfEwVmpp7BlVQ6SrYn4XfsyyYGtJ_4zvSzxYLIiVV1J6Ms/s320/design-as-symbolic-violence-1-638.jpg)
Media memiliki kuasa yang membuat masyarakat mengikuti
apapun yang ditayangkannya, kuasa yang dimiliki oleh media dapat dianalogikan
sebagai kuasa orang tua di rumah terhadap anaknya. Orang tua sebagai pemilik rumah tentunya harus
dipatuhi oleh anaknya. Begitu pula kekuatan yang dimiliki oleh media. Masyarakat
membutuhkan media untuk memperoleh informasi namun terkadang informasi tersebut
memiliki konten yang tidak begitu menguntungkan bagi masyarakat. Contohnya adalah
para kapitalis yang memiliki stasiun-stasiun televisi di Indonesia.
Iklan-iklan memiliki kekuatan yang sama kuatnya dan mampu
menanamkan ide dan g
agasan ke dalam benak masyarakat untuk jangka panjang. Iklan
mampu membentuk standar-standar yang menentukan kesempurnaan hidup. Standar
yang dibentuk oleh para pengiklan tersebut sebenarnya kebanyakan mengandung
kekerasan simbolik yang bersifat negatif untuk masyarkat, contohnya:
-
Cantik itu ditentukan dari warna kulit dan
postur tubuh yang kurus. Pernyataan ini sering dikemukakan dalam iklan-iklan
kosmetik.
-
Susu sejak dulu dikenal sebagai minuman untuk
anak kecil agar cepat tumbuh besar dan berisi namun kini susu diiklankan
sebagai minuman yang justru untuk menguruskan badan dan menambah kesehatan
tubuh (seperti iklan susu WRP).
-
Gym dahulu bukanlah gaya hidup untuk masyarakat Indonesia
namun kini dengan semakin maraknya gym yang
bermunculan serta ditambah dengan munculnya iklan-iklan pendukung menjadikan gym kini sebagai gaya hidup terutama
bagi para pria untuk mendapatkan tubuh yang bagus yang berotot. Seperti iklan
L-Men yang konsep iklannya selalu menunjukkan bahwa pria yang dikejar-kejar
wanita adalah sosok pria yang memiliki tubuh bidang dan berotot, pria dengan
tubuh tak proposional tidaklah menarik bagi wanita.
Beberapa hal di atas merupakan bentuk kekerasan simbolik yang
menerpa masyarakat setiap hari karena iklan yang tidak pernah berhenti
bermunculan dari mulai kita bangun hingga tidur kembali. Banyak orang yang
telah membiarkan iklan serta media membentuk sebuah standar hidup untuk mereka
penuhi dan para pengiklan terus-terusan meraup keuntungan besar tanpa disadari
oleh masyarakat.
Kelompok kami pun ingin melakukan analisis terhadap salah
satu iklan dalam media yang mengandung kekerasan simbolik. Iklan tersebut
adalah Hilo Teen. Hilo Teen adalah sebuah merk susu yang di klaim dapat
berfungsi untuk menambah tinggi seseorang. Kebetulan susu ini ditargetkan untuk
para remaja. Iklan Hilo Teen ini memiliki sebuah tagline yaitu ‘tumbuh itu ke atas bukan ke samping’. Konsep iklan
ini adalah sebagai berikut:
-
Menayangkan betapa remaja yang pendek tidak
dapat melakukan banyak hal dan harus dibantu oleh remaja yang lebih tinggi atau
selalu kalah bersaing karena postur tubuhnya yang pendek dan gendut.
-
Menayangkan betapa remaja yang tinggi dapat
melakukan apapun yang tidak dalam dilakukan oleh remaja yang pendek serta
gendut.
Jelas iklan beserta
tagline
nya dapat menimbulkan kesan bahwa tubuh tinggi dan ramping itu lebih baik
dibandingkan dengan tubuh pendek dan gendut yang tidak bisa melakukan apa-apa. Hal
ini dapat berakibat buruk bagi para penontonnya apalagi susu ini ditargetkan
untuk anak-anak remaja dan seluruh pemeran dalam iklan adalah anak muda. Remaja
dengan postur tubuh pendek dan gendut dapat merasa kurang percaya diri dan
mungkin diejek teman sebayanya akibat standar yang tanpa disadari ditetapkan
oleh iklan tersebut. Kini
tagline Hilo
Teen memang telah diganti menjadi ‘tumbuh tinggi, jangan nanti-nanti’ namun
tetap saja
tagline awalnya yang
mengandung kekerasa simbolik tersebut telah diputar di media secara marak untuk
bertahun-tahun dan telah berhasil menjadikan tubuh tinggi dan ramping menjadi
standar tubuh remaja yang sempurna.
Kelompok kami kini menyadari untuk tidak terus-terusan
membiarkan diri kami terkena kekerasan simbolik yang dipaparkan oleh
iklan-iklan. Karena kami telah menyadari bahwa hidup kami bukanlah ditentukan
oleh standar dari iklan.