Selasa, 27 September 2016

Iklan dan Kekerasan Simbolik (22 September 2016)



Endah Murwani adalah dosen tamu yang mengajar kelas Kapita Selekta pada tanggal 22 September 2016. Topik pembahasan yang dibawakan oleh beliau adalah tentang iklan dan kekerasan simbolik. Topik pembahasan tersebut berkaitan dengan new media, sama seperti dengan pembahasan pada minggu-minggu sebelumnya. Namun pembahasan kali ini befokus kepada iklan dan kekerasan simboliknya sehingga merupakan bentuk pembahasan yang baru dan menarik.

 
Iklan adalah sesuatu yang tidak pernah dari kehidupan manusia sehari-hari. Iklan berada dimana-mana sepanjang hari hingga seakan mengepung masyarakat dari berbagai penjuru. Segala celah yang ada selalu diisi oleh pengiklan. Semua pengiklan berlomba-lomba untuk semakin eksis di mata masyarakat. Alasannya sangat mudah karena semakin iklan sering muncul maka akan membentuk brand recall pada benak masyarakat. Salah satu contohnya adalah iklan Ponds (sabun cuci muka) yang rela mengeluarkan biaya hampir 400 miliar rupiah untuk beriklan. Biaya sebesar itu bukanlah sebuah masalah selama pentrasi Ponds setiap tahun semakin meningkat dan memang kenyataannya hal tersebut benar terjadi.
 

Iklan yang pada awalnya hanya digunakan untuk mempromosikan produk atau jasa kini telah mengalami pergeseran seperti berikut:

1.        Sebagai sarana penyebar nilai dan gaya hidup baru.
Contoh nyatanya dapat terlihat pada iklan-iklan sereal yang sering muncul di televisi sebagai makanan untuk dikonsumsi di pagi hari. Kini sudah banyak masyarakat yang terpapar iklan tersebut dan mulai mengkonsumsi sereal di pagi hari dan dan tidak lagi memilih bubur sebagai pilihan.

2.       Memunculkan asumsi using product is currency
Contohnya dapat terlihat pada iklan sampo. Sampo sebenarnya hanya memiliki fungsi untuk membersihkan rambut namun kini sampo diiklankan tidak hanya untuk membersihkan rambut saja tapi dapat berfungsi untuk memanjangkan rambut, dsb. Contoh lain juga terjadi pada sandal, sandal hanyalah berfungsi untuk alas kaki namun kini untuk menciptakan brand recall di benak masyarakatm sandal diiklankan dapat memberikan efek kesehatan pada pemakainya.

Konsep kekerasan simbolik
Tanpa kita sadari, simbol-simbol yang ada dalam iklan akan kita ikuti. Contohnya tagline ‘putih itu cantik’ yang sering digemborkan oleh iklan-iklan perawatan wajah dan kulit. Secara tidak langsung tagline yang dilihat berkali-kali tersebut dapat tertanam dalam benak dan benar-benar percaya bahwa kecantikan seseorang ditentukan oleh warna kulitnya. Pemaparan secara terus menerus tersebut disebut sebagai pedagogis atau definisi praktisnya adalah pengajaran /edukasi terus menerus.

Media memiliki kuasa yang membuat masyarakat mengikuti apapun yang ditayangkannya, kuasa yang dimiliki oleh media dapat dianalogikan sebagai kuasa orang tua di rumah terhadap anaknya.  Orang tua sebagai pemilik rumah tentunya harus dipatuhi oleh anaknya. Begitu pula kekuatan yang dimiliki oleh media. Masyarakat membutuhkan media untuk memperoleh informasi namun terkadang informasi tersebut memiliki konten yang tidak begitu menguntungkan bagi masyarakat. Contohnya adalah para kapitalis yang memiliki stasiun-stasiun televisi di Indonesia.

Iklan-iklan memiliki kekuatan yang sama kuatnya dan mampu menanamkan ide dan g
agasan ke dalam benak masyarakat untuk jangka panjang. Iklan mampu membentuk standar-standar yang menentukan kesempurnaan hidup. Standar yang dibentuk oleh para pengiklan tersebut sebenarnya kebanyakan mengandung kekerasan simbolik yang bersifat negatif untuk masyarkat, contohnya:

-          Cantik itu ditentukan dari warna kulit dan postur tubuh yang kurus. Pernyataan ini sering dikemukakan dalam iklan-iklan kosmetik.

-          Susu sejak dulu dikenal sebagai minuman untuk anak kecil agar cepat tumbuh besar dan berisi namun kini susu diiklankan sebagai minuman yang justru untuk menguruskan badan dan menambah kesehatan tubuh (seperti iklan susu WRP).

-          Gym dahulu bukanlah gaya hidup untuk masyarakat Indonesia namun kini dengan semakin maraknya gym yang bermunculan serta ditambah dengan munculnya iklan-iklan pendukung menjadikan gym kini sebagai gaya hidup terutama bagi para pria untuk mendapatkan tubuh yang bagus yang berotot. Seperti iklan L-Men yang konsep iklannya selalu menunjukkan bahwa pria yang dikejar-kejar wanita adalah sosok pria yang memiliki tubuh bidang dan berotot, pria dengan tubuh tak proposional tidaklah menarik bagi wanita.

Beberapa hal di atas merupakan bentuk kekerasan simbolik yang menerpa masyarakat setiap hari karena iklan yang tidak pernah berhenti bermunculan dari mulai kita bangun hingga tidur kembali. Banyak orang yang telah membiarkan iklan serta media membentuk sebuah standar hidup untuk mereka penuhi dan para pengiklan terus-terusan meraup keuntungan besar tanpa disadari oleh masyarakat.  





Kelompok kami pun ingin melakukan analisis terhadap salah satu iklan dalam media yang mengandung kekerasan simbolik. Iklan tersebut adalah Hilo Teen. Hilo Teen adalah sebuah merk susu yang di klaim dapat berfungsi untuk menambah tinggi seseorang. Kebetulan susu ini ditargetkan untuk para remaja. Iklan Hilo Teen ini memiliki sebuah tagline yaitu ‘tumbuh itu ke atas bukan ke samping’. Konsep iklan ini adalah sebagai berikut:

-          Menayangkan betapa remaja yang pendek tidak dapat melakukan banyak hal dan harus dibantu oleh remaja yang lebih tinggi atau selalu kalah bersaing karena postur tubuhnya yang pendek dan gendut.

-          Menayangkan betapa remaja yang tinggi dapat melakukan apapun yang tidak dalam dilakukan oleh remaja yang pendek serta gendut. 


Jelas iklan beserta tagline nya dapat menimbulkan kesan bahwa tubuh tinggi dan ramping itu lebih baik dibandingkan dengan tubuh pendek dan gendut yang tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini dapat berakibat buruk bagi para penontonnya apalagi susu ini ditargetkan untuk anak-anak remaja dan seluruh pemeran dalam iklan adalah anak muda. Remaja dengan postur tubuh pendek dan gendut dapat merasa kurang percaya diri dan mungkin diejek teman sebayanya akibat standar yang tanpa disadari ditetapkan oleh iklan tersebut. Kini tagline Hilo Teen memang telah diganti menjadi ‘tumbuh tinggi, jangan nanti-nanti’ namun tetap saja tagline awalnya yang mengandung kekerasa simbolik tersebut telah diputar di media secara marak untuk bertahun-tahun dan telah berhasil menjadikan tubuh tinggi dan ramping menjadi standar tubuh remaja yang sempurna. 

Kelompok kami kini menyadari untuk tidak terus-terusan membiarkan diri kami terkena kekerasan simbolik yang dipaparkan oleh iklan-iklan. Karena kami telah menyadari bahwa hidup kami bukanlah ditentukan oleh standar dari iklan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar