Pada hari Kamis
25 Agustus 2016, kelas Kapita Selekta kedatangan seorang pengamat sekaligus jurnalis bernama Agus
Sudibyo. Beliau merupakan seorang
mantan direktur badan riset bernama IRC.
Minggu lalu beliau hadir ke FIKom
UNTAR dan mengajarkan tentang new media di
kelas pada siang hari itu. Kelas dimulai dengan pertanyaan tentang apakah
definisi dari new media dan ternyata masih
banyak mahasiswa/i yang belum bisa mendefinisikannya dengan tepat. Pak Agus
menjelaskan jenis-jenis new media sebagai
berikut:
1.
Search
Engine
2.
Social
Media
3.
News
Aggregator
4.
News
Filtering Services
5.
Media
Online
6.
E-Commerce
Merupakan media
yang digunakan untuk mencari segala macam informasi melalui internet, beberapa contohnya adalah Google, Wikipedia,
Bing.
Social
Media:
Media yang
digunakan untuk bersosialisasi antar perseorangan atau kelompok melalui koneksi
internet, beberapa contohnya adalah Facebook,
Twitter, Instagram.
News
Aggregator:
Media yang tidak
memproduksi berita tetapi mengumpulkan berita-berita dari sumber lain dan
dijual. Contohnya adalah Gresnews.
News
Filtering Services:
Media yang
fungsinya memudahkan orang untuk membaca berita tanpa harus browsing semua berita dari website lain / sumber lain. Contohnya
adalah Indonesia Indicator.
Media
Online:
Media massa yang
kontennya dapat diakses melalui internet. Contohnya dalam bidang jurnalistik
adalah Detik.com, Kompas.com, Vivanews.com.
E-Commerce:
Memudahkan
orang-orang agar dapat berbelanja / bertransaksi secara online. Contohnya adalah Lazada,
Elevenia, Bukalapak.com.
Penjelasan
selanjutnya dilanjutkan dengan fokus yang lebih dalam tentang media sosial. Di
era globalisasi ini, hampir semua orang telah memiliki gadget dan selalu menggunakannya setiap hari, dimana saja dan kapan
saja. Dengan alasan agar tetap update, banyak
orang yang tidak dapat lepas dari gadgetnya.
Hal ini pun menyebabkan munculnya sebuah masalah yang disebut unconsciousness syndrome yang berarti
tidak sadarnya sudah berapa lama seseorang menggunakan gadgetnya.
Penggunaan gadget yang sudah berlebihan ini membuat
orang-orang lupa akan dampak negatif dari penggunaan media sosial. Media sosial tidaklah selalu bersifat sosial
namun juga ada unsur bisnis di dalamnya. Untuk memperjelasnya, Pak Agus memberi
contoh pada Facebook. Facebook adalah salah satu media sosial
terbesar yang digunakan oleh masyarakat. Tanpa sepengetahuan penggunanya,
ketika mendaftarkan diri ke dalam Facebook,
sebenarnya data diri kita dijual oleh Facebook
ke perusahaan iklan.
Apapun aktivitas yang kita masukkan ke dalam Facebook seperti menulis status,
mengunggah foto, dan aktivitas lainnya selalu direkam oleh Facebook.
Track Record aktivitas pengguna Facebook
pun dijual. Dengan mengetahui keseharian, hobi dan
aktivitas kita maka pengiklan akan paham tentang apa minat seseorang dan dapat
memperoleh potensi pembelian lebih tinggi. Hal tersebut ditandai dengan
munculnya beberapa iklan-iklan barang yang kita butuhkan saat sedang membuka Facebook.
Satu aspek
penting yang perlu diingat oleh pengguna media sosial adalah adanya Surveillance Capitalism yaitu media
sosial yang selalu memata-matai aktivitas penggunanya. Semakin kita aktif
menggunakan media sosial, search engine, dan
lainnya maka aktivitas apapun yang kita lakukan akan terekam oleh mereka. Media
sosial bukanlah sesuatu yang bersifat privasi namun merupakan sebuah ruang
terbuka yang dapat dilihat oleh siapa saja. Inilah yang dapat dihubungkan
dengan media sosial yang dapat dimanfaatkan sebagai bisnis.
Kembali ke Facebook, tidak jarang ketika seseorang
membuka Facebooknya maka akan muncul
iklan barang yang sesuai kebutuhannya. Tidak semua orang dikirimkan iklan yang
sama seperti itu namun setiap iklan yang masuk ke dalam Facebook seseorang disesuaikan dengan kebutuhannya sesuai dengan
data hasil Surveillance Capitalism. Ini
memudahkan perusahaan pengiklan untuk mengkategorisasi calon pembelinya. Ini
adalah inovasi cara beriklan media online
yang terbaru.
Terkait masalah Surveillance Capitalism, sudah banyak
pengguna sosial media yang sadar akan penjualan data pribadinya. Di negara
Eropa muncul gerakan Rights of Forbidden yang merupakan gerakan yang menuntut
agar Google, Yahoo, Facebook, dan media sosial lainnya untuk menghapus data
pribadi mereka dari situs-situs tersebut. Mereka meminta untuk dilupakan agar
datanya tidak lagi dijual secara bebas.
Indonesia adalah
salah satu negara yang pengguna internetnya meningkat setiap tahunnya.
-
64% penggunanya berusia 12-34 tahun
-
15% penggunanya berusia 20-24 tahun
Banyak pengguna
internet di Indonesia yang belum sadar akan masalah tersebut. Terlalu fokus
menggunakan gadget menjadi salah satu
masalah yang menjauhkan mereka untuk menyadari adanya isu-isu penting yang
harus dipahami.
Para mahasiswa/i
yang merupakan pengguna gadget pun
diberikan beberapa pertanyaaan oleh Pak Agus :
1.
Mau menjadi penonton atau pelaku?
2.
Mau mengambil manfaat/dimanfaatkan?
3.
Mau jadi penentu/objek eksploitasi?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut patut untuk dimengerti dan dipikirkan dengan baik agar setiap pengguna
internet dapat menyadari posisinya ketika menggunakan internet. Seseorang
seharusnya dapat bijak dalam menggunakan internet. Kesadaran adalah kunci
penting bagi pengguna internet agar dapat mengendalikan diri dan tidak selalu
terbawa arus dan selalu menjadi penonton, dimanfaatkan dan menjadi objek
eksploitasi. Pak Agus menyarankan kami, mahasiswa/i yang telah kecanduan
internet untuk diet internet.
Sebagai pengguna
salah satu media sosial, kelompok
kami merasakan bahwa tidak ada masalah dengan Surveillance Capitalism. Kami merasa bahwa tidak masalah apabila
data pribadi kami dijual ke pengiklan karena selama ini tidak merasa terganggu
dengan aktivitas yang dilakukan oleh pengiklan ke dalam situs-situs yang kami
akses.
Tentunya banyak
orang yang juga berpikiran seperti itu, tidak merasa dirugikan dengan penjualan
data diri ke pengiklan. Namun bagi kelompok kami, setelah menerima pembelajaran
dari Pak Agus Sudibyo, terutama ketika beliau memberikan pertanyaan-pertanyaan
penting diatas, seketika kami terpikir bahwa selama ini kami hanya dimanfaatkan
oleh sosial media. Memang hubungan antara sosial media dan penggunanya terkesan
win-win solution karena para
penggunanya dapat terhibur saat menggunakan media sosial kemudian untuk sosial
media sendiri mendapatkan keuntungan uang dari menjual data diri penggunanya
dan hal lain. Meski begitu, tetap saja penggunanya yang mendapatkan kerugian
yang lebih karena data pribadi yang seharusnya bersifat privasi menjadi
tersebar. Maka seharusnya sebagai pengguna internet harus dapat meniru warga
Eropa yang sudah sadar akan masalah new
media yang kerap memata-matai para penggunanya. Sudah seharusnya masyarakat
Indonesia menyadari untuk tidak terlalu kecanduan internet dan terus-terusan
menjadi objek eksploitasi.
Kesimpulan
New media memiliki dua dampak pada
masyarakat, mencakup dampak negatif dan juga positif. Sebagai pengguna new media maka seharusnya memiliki
tanggung jawab dan kesadaran dalam menggunakannya. Lebih baik memanfaatkannya
untuk sesuatu yang positif dan bukannya malah dimanfaatkan oleh new media itu sendiri. Terima kasih
banyak kepada Pak Agus Sudibyo yang sudah bersedia mengajar dan menyadarkan
kami.